Tampilkan postingan dengan label Liputan Ahmadiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Liputan Ahmadiyah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 18 April 2008

IMAM JAMA’AT MUSLIM AHMADIYYAH SEDUNIA BERBICARA mengenai PENINDASAN & PENGANIAYAAN secara GLOBAL

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Y.M. Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba. menyatakan bahwa tidak akan ada orang Ahmadi yang pernah bersetuju untuk merubah kepercayaan dan keimanan mereka.

Berbicara dalam pidato mingguannya (Khutbah Jum’at 8-2-2008), Y.M. Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Pemimpin/Imam Jama’at Muslim Ahmadiyyah Sedunia telah berbicara mengenai diskriminasi yang dihadapi oleh anggota-anggota Jama’at di beberapa Negara di dunia.
Hudzur aba. memulai khutbahnya dengan mengingatkan kepada para anggota Jama’at bahwa pada saat-saat mendapatkan kesulitan maka seseorang yang memiliki iman yang sejati tidak akan pernah berputus asa, tetapi kenyataannya adalah ia akan menjadi lebih dekat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.





Jamaat Ahmadiyyah telah mendapatkan penganiayaan dan penindasan sejak didirikannya, namun baru-baru ini terlihat bahwa di beberapa negeri perlakuan buruk terhadap Jama'at itu telah bertambah-tambah. Berbicara mengenai hal ini, Hudzur bersabda:

“Penyebab bahwa kami itu mendapatkan penganiayaan dan penindasan adalah karena perasaan terbakar rasa cemburunya pada pihak-pihak yang memusuhi. Orang-orang yang Non-Muslim tidak tahan untuk melihat Islam sukses dan berjaya, sementara itu di dalam masyarakat Muslim luas para Kiyai atau Mullah merasa takut kalau-kalau para pengikutnya akan menyadari kebenaran Ahmadiyyah dan yang akibatnya mereka itu akan lari dari para Mullah ini.”

Adalah suatu kebenaran yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Jama’at Ahmadiyyah ini sudah maju dengan pesatnya dalam pandangan orang-orang yang memusuhi itu, selama sepanjang sejarah ini. Kekuatan dari Jama'at adalah selalu berada di dalam kesatuan. Memang Hudzur Yang Mulia memperbandingkan Jama’at ini dengan sebuah tubuh pisik di mana jika bahkan jika ada satu orang yang menderita maka seluruh tubuh itu akan merasakan rasa sakitnya. Dengan kesatuannya yang sempurna seperti inilah maka Jama’at Ahmadiyya itu akan selalu dan terus berkembang dan maju sehingga konsekwensinya adalah bahwa berbagai dan bermacam rintangan apa pun yang dilakukan oleh para penyerang tidak akan pernah bisa menembus apalagi merusak dinding dari Jama’at Ahmadiyyah.



Jama'at mendapatkan penganiayaan dan penindasan di Pakistan sejak dari awal mulanya sekali, betapa pun dalam kenyataannya adalah bahwa Jama’at Ahmadiyyah itu telah ikut memainkan peranan yang amat menonjol di dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara Islam ini. Hudzur aba menyebutkan betapa kekejamannya ini yang masih terus berlangsung bahkan sampai hari ini pun; beliau bersabda:



"Di mana mereka mendapatkan kesempatan maka tuduhan palsu dihadapkan kepada orang Muslim Ahmadi di Pakistan. Baru-baru saja ada seorang anak laki-laki yang baru berumur 13 tahun telah ditangkap atas dasar tuduhan palsu bahwa ia itu telah memukuli tubuh seorang Maulvi! Betapa tidak masuk akalnya tuduhan semacam itu? Bagaimana seorang anak kecil dapat menganiaya seorang yang dewasa sedemikian rupa sehingga Mullah ini harus dimasukkan ke rumah sakit. Tujuan dari kekejaman mereka ini adalah untuk menakut-nakuti generasi muda kami sedemikian rupa agar anak-anak ini melepaskan keimanan mereka. Betapa pun demikian saya menerima banyak-banyak surat dari para pemuda ini yang bersumpah demi Allah bahwa mereka ini bersedia untuk mengorbankan waktu mereka, harta milik mereka, kehormatan mereka, bahkan jiwa mereka demi untuk Jama’at Ahmadiyyah."



Hudzur Yang Mulia juga berbicara mengenai penganiayaan dan penindasan di India dan di dunia Arab. Di India para pengurus Jama’at secara terus menerus mendapatkan berbagai ancaman. Sementara di dunia Arab, beberapa Pemerintahan dari Negara-negara tertentu, tidak mampu untuk melihat kesuksesan Ahmadiyyah; saluran televisi 'MTA Al-Arabia', ditutupnya. Bagaimana pun juga, insiden ini sebenarnya memberikan sebuah jalan peluang untuk suksesnya Jama’at, karena sebagai akibat dari pencekalan tersebut maka kontrak telah dibuat dengan perusahaan yang lain, sehingga cakupan siaran satellitenya sekarang menjadi bertambah luas dan sudah berkembang dan mencapai negeri-negeri lainnya seperti Marocco.



Jamaat Ahmadiyyah juga mengalami penderitaan untuk selama beberapa tahun ini. Rumah-rumah dan mesjid-mesjid dibakar atau dihancurkan dan anggota-anggota Jamaat mendapatkan serangan. Baru-baru ini sebuah gerakan dilancarkan yang berusaha untuk melarang Jama’at Ahmadiyyah oleh Negara, namun gerakan ini pada akhirnya tidak disetujui oleh Pemerintah. Meskipun demikian, sebuah surat kabar harian setempat mencetak ceritera yang memuat bahwa alasan dari Pemerintah memilih untuk tidak melarang Jama'at adalah dikarenakan ada kesan bahwa Jama’at ini sudah merubah beberapa pokok keimanannya. Ini adalah sama sekali tuduhan yang tidak benar yang dibuat terhadap Jama’at. Mengkomentari atas tulisan ini Yang Mulia bersabda:



"Jama’at Ahmadiyyah beriman dan percaya bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian adalah benar Al-Masih Yang Dijanjikan dan Al-Mahdi (Orang yang mendapat petunjuk). Kami tidak akan pernah menyimpang dari keyakinan ini karena keindahan dari Jama'at itu adalah didasarkan atas kepercayaan dan keimanan ini bahwa Pendiri dari Jama’at ini adalah benar Al-Masih Yang Dijanjikan dan Al-Mahdi yang telah dinubuatkan oleh Y.M. Nabi Suci Muhammad saw."



Mengikuti artikel dari surat-kabar tersebut di atas beberapa orang-orang non-Ahmadi Muslim tertentu dan anggota-anggota Jama’at Lahore merayakan apa yang mereka lihat akan adanya perubahan di dalam kepercayaan dari Jama’at Ahmadiyyah. Tetapi isi dari artikel surat kabar tersebut dengan segera ditolak oleh Jama'at dan atas creditnya itu surat kabar yang bersangkutan telah menerbitkan sebuah pernyataan yang memberikan klarifikasi atas masalah tersebut pada tanggal 23 January 2008.

Yang Mulia Hudzur aba menutup khutbahnya dengan menyatakan bahwa jika ada terdapat kesan bahwa Jama’at Indonesia telah melemah dikarenakan menghadapi penindasan maka yang demikian itu sama sekali tidak pada tempatnya. Tidak ada anggota Jama’at yang memiliki keraguan sedikit pun mengenai kedudukan status dari Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Sebagaimana Hadhrat Masih Mau’ud sendiri menulis, statusnya sebagai seorang Nabi yang tidak membawa Syariat adalah diberikan kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, jadi tidak ada orang atau pun organisasi/institusi apa pun yang dapat mengambil jubah ini dari beliau.

Adalah satu ajaran mendasar dari Islam bahwa agama itu adalah urusan untuk setiap individu / pribadi orang untuk menentukannya sendiri dengan bebas merdeka, dan tanpa ada pemaksaan. Pelaksanaan ibadah agama seseorang, selama hal itu tidak mengganggu atau merugikan hak-hak dari orang lainnya, maka ini adalah hak azasi dari setiap manusia. Hak-hak inilah yang tidak diberikan kepada orang-orang Muslim Ahmadi, namun walaupun demikian para anggota Jama’at itu haruslah selalu ingat bahwa kekejaman yang sedemikian itu tidak akan dapat mengganggu kejayaan dan kesejahteraan dari Jama’at Ahmadiyyah.

Akhir dari Press Release
Abid Khan (Press Secretary, Ahmadiyya Muslim Community)


[+/-] Selengkapnya...

MUI, Ahmadiyah, dan Fikih Toleransi

expr:id='"post-" + data:post.id'>

MUI, Ahmadiyah, dan Fikih Toleransi
Dari Surat Kabar Harian Suara Merdeka Semarang

MUI, Ahmadiyah, dan Fikih Toleransi
Oleh Maksun

MENARIK dicermati pernyataan mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menilai Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan andil atas terjadinya berbagai tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama.


Ia mencontohkan fatwa sesat yang dikeluarkan MUI untuk kelompok Ahmadiyah dan orang-orang yang bergabung dalam gerakan Shalawatan Wahidiyah di Tasikmalaya, Jawa Barat.


"MUI bukan satu-satunya organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Karena itu, jangan gegabah mengeluarkan pendapat yang bisa membuat kesalahpahaman. Saya minta MUI tidak menggunakan kata sesat," katanya dalam orasi catatan akhir tahun lalu.

Sementara itu Menteri Agama, Maftuh Basuni, pernah menyarankan agar komunitas Ahmadiyah membuat agama baru. Gagasan "aneh" tersebut dilontarkan oleh Menag pascakriminalisasi warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, NTB, Februari 2007.

Tak bisa mipungkiri, aksi biadab itu salah satu pemicunya adalah fatwa MUI yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah adalah aliran sesat. Warga Ahmadiyah menilai, aparat keamanan juga berperan memperparah perusakan di tempat-tempat Ahmadiyah. Sebab, saat kejadian, aparat keamanan lebih banyak membiarkan daripada mencegah.

Sementara itu kalangan LSM berpendapat, pembiaran tersebut disebabkan oleh tidak konsistennya peraturan perundang-undangan. Masih terdapat benturan antara UU 39/1999 tentang HAM dan KUHP.

Hal tersebut menyebabkan aparat hukum bingung menafsirkan antara kebebasan beragama dan penodaan agama. Di satu sisi, UU HAM mengatur kebebasan beragama, di sisi lain KUHP mengatur penodaan agama.

Haruskah Ahmadiyah meleburkan dirinya menjadi agama baru? Tidakkah hal itu justru bertentangan dengan UUD yang menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk dan menjalankan keyakinannya? Tidakkah lebih baik jika fatwa sesat Ahmadiyah itu justru dicabut?

Ditinjau Kembali

Melihat ekses negatif fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh MUI itu, maka menurut saya, lebih baik fatwa tersebut ditinjau kembali dan bahkan harus dicabut. Mengapa?

Pertama, jika fatwa tentang larangan Ahmadiyah tetap dipertahankan, berarti hanya ada satu pilihan buat mereka, yaitu kembali ke Islam "lurus". Kalau saja anggota Ahmadiyah menolak untuk mengikuti Islam versi MUI, mereka akan kehilangan hak untuk tinggal di Indonesia.

Kedua, fatwa itu -meminjam terminologi Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL- mengingatkan kita kepada inkuisisi akidah yang pernah dipraktikkan oleh Raja Ferdinand di Spanyol setelah berhasil merebut kembali (reconquista) tanah di Semenanjung Iberia itu dari kekuasaan Islam. Dia memberikan tiga pilihan kepada umat Islam dan Yahudi kala itu: masuk Kristen, hengkang dari Spanyol, atau dibunuh.

Tindakan Raja Ferdinand itu kontras dengan toleransi yang dipraktikkan oleh raja-raja Islam di Spanyol selama berabad-abad. Nasib yang dialami oleh orang-orang Ahmadiyah di Indonesia mirip dengan nasib umat Islam dan Yahudi di Spanyol era itu: kembali ke jalan "lurus", yaitu Islam, hengkang dari Indonesia, atau tetap tinggal namun dengan sejumlah risiko?

Ketiga, fatwa MUI penuh persoalan dilihat dari sudut kehidupan berbangsa. Fatwa itu adalah setback, ditinjau dari upaya membangun kehidupan kebangsaan yang plural. Bahkan, fatwa yang berkaitan dengan Ahmadiyah jelas-jelas berlawanan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan melaksanakan agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing.

Kebebasan berkeyakinan dijamin oleh UUD 1945. Pasal 28 E Ayat 2 menyebutkan, setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat 2 pasal 28 E menegaskan, setiap orang berhak atas kekebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan ahti nuraninya. Ayat 3 menyebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Fikih Toleransi

Selama ini, sikap toleran dan bersedia menenggang rasa perbedaan di antara kita acapkali hanya diasosiasikan kepada umat beragama yang berbeda.

Peristiwa tragis yang dialami umat Ahmadiyah selama 2007 kian membuktikan masih minusnya rasa saling menghargai perbedaan dan keberagaman di antara umat Islam sendiri.

Dalam konteks itu, maka membangun fikih toleransi - meminjam istilah Amin Abdullah- menjadi sangat penting.

Menurut Rektor UIN Yogjakarta itu, fikih toleransi lebih banyak bertumpu pada cara berpikir, cara bergaul, dan cara berinteraksi. Sebastiano Mosso, dalam bukunya Tolleranza e Pluralismo, mengatakan bahwa toleransi pada hakikatnya berpangkal pada kesadaran diri manusia akan bisikan nurani yang benar, lurus, dan sehat.

Dengan demikian, fikih toleransi didasarkan atas sikap inklusif, pluralis, dan multikulturalis terhadap sesama. Fikih toleransi mengandaikan pilihan dasar positif manusia atas keadaan antarsesamanya yang terbelenggu dalam ketertindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan .

Sikap dasar itu adalah kesediaan untuk menerima, menghargai, dan menghormati sesama sebagai insan yang memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Karenanya, fikih toleransi menuntut adanya keikhlasan dan keberanian moral manusia untuk mengakui serta menerima perbedaan dalam hidup sehari-hari tanpa disertai tindakan anarkis dan radikal, karena hal itu jelas bertentangan dengan Islam sebagai rahmatan lil'alamin.

Walhasil, jalan keluar di tengah konflik Ahmadiyah, menurut saya, bukan dengan cara meminta mereka untuk kembali kepada Islam mainstream atau keluar dari Islam dan membuat agama baru seperti disarankan Menag, melainkan dengan cara mencabut fatwa sesat MUI itu dan membiarkan mereka untuk eksis hidup berdampingan dengan umat yang lain, dengan tetap mengedepankan sikap toleransi yang menuntut para pemeluk agama saling menghargai perbedaan dan menerima keyakinan masing-masing.

Selama fatwa sesat MUI itu tidak dicabut, maka pada 2008 ini kekerasan sangat mungkin akan kembali terjadi.(68)

-- Maksun, dosen Fakultas SyariĆ­ah IAIN Walisongo Semarang


[+/-] Selengkapnya...

Melarang Ahmadiyah: Apa Kata Dunia?

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Melarang Ahmadiyah: Apa Kata Dunia?
Oleh Novriantoni

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1319

22/01/2008
Jalan itu berdiri di atas prinsip ini: selagi suatu kelompok tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal dan membahayakan eksistensi negara, mereka adalah warga negara yang bebas menjalankan keyakinan mereka dan berhak mendapat perlindungan yang setara oleh negara dan di muka hukum.


Keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Selasa lalu (15/1/08) untuk tidak melarang ajaran dan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sudah tepat dan sesuai dengan tradisi negara yang demokratis dan beradab. Memang keputusan itu bersifat sementara karena Pakem masih memberi waktu tiga bulan bagi Ahmadiyah untuk menyosialisasikan 12 Pokok Ajarannya yang diumumkan sehari sebelumnya. Pada titik ini, Jamaah Ahmadiyah Indonesia tetap harap-harap cemas akan selalu diinteli oleh lembaga warisan Orde Baru itu.

Tapi itu sudah cukup baik jika menimbang maslahat dan mudarat yang mungkin muncul sebagai implikasi dari sebuah keputusan. Bayangkan kalau Pakem mengambil keputusan sebaliknya dengan melarang Ahmadiyah. Dengan bekal fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja unsur-unsur yang ekstrem di dalam masyarakat Islam tepat giat melakukan demonstrasi dan intimidasi terhadap Ahmadiyah. Apatah lagi bila Pakem pun menguatkan keputusan MUI. Mereka akan mendapatkan dua amunisi sekaligus: dari agama dan dari negara.

MUI dan orang-orang yang selama ini menentang Ahmadiyah memang pantas kecewa. MUI yang di era reformasi ini seolah-olah ingin menjadi lembaga superbody juga layak protes karena tidak diikutsertakan dalam rapat Bakor Pakem. Tapi apa pentingnya lagi meminta pendapat MUI dalam soal Ahmadiyah bila pendapatnya seperti meminta petuah penggemar durian tentang lezat tidaknya buah durian? Lebih dari itu, MUI berkali-kali sudah terbukti sebagai lembaga anti-demokrasi dan kebebasan berekspresi di saat-saat Indonesia sedang tertatih-tatih menapaki jalur demokrasi.

Karena itu, Pakem pun tidak perlu menghiraukan konsideran Pakistan, Arab Saudi, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan negera-negara non-demokratis lainnya dalam menyelesaikan kasus Ahmadiyah. Pakem harus mantap dan tegas mengambil jalan Indonesia dan jalan negara-negara beradab lainnya dalam memutuskan kasus sekte-sekte minoritas agama. Jalan itu berdiri di atas prinsip ini: selagi suatu kelompok tidak melakukan tindakan-tindakan kriminal dan membahayakan eksistensi negara, mereka adalah warga negara yang bebas menjalankan keyakinan mereka dan berhak mendapat perlindungan yang setara oleh negara dan di muka hukum.

Kalau akidah Ahmadiyah dinilai telah menyimpang oleh MUI, atau katakanlah sesat dari akidah kebanyakan umat Islam, urusannya tentu bukan lagi pada negara. Mereka tentu berdosa di muka Allah dan cukuplah Allah saja yang akan menghukum mereka di akhirat kelak. Negara yang demokratis dan berusaha menciptakan iklim masyarakat terbuka tidak selayaknya mencampuri urusan pahala dan dosa warga negara.

Nah, perkaranya tinggal meredakan emosi unsur-unsur yang ekstrem di masyarakat Islam yang dalam lima tahun terakhir sangat agresif ingin melenyapkan Ahmadiyah. Tidak mudah memang, tapi konsekuensi- konsekuensinya memang jauh lebih sederhana daripada melarang Ahmadiyah. Mestinya, di sinilah peranan MUI dapat diharapkan bila ingin menjadi unsur penting dalam memperjuangkan demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. MUI mungkin bisa menyeru mereka untuk menghentikan tindakan-tindakan pengrusakan sembari menganjurkan umat untuk tidak mengikuti ajaran Ahmadiyah yang dianggap sesat dan menyesatkan.

Sesederhana itu, dan tidak perlu terus merengek-rengek agar negara mengambil keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan demokrasi dan tradisi negara yang beradab. Peran seperti itulah yang selama ini dimainkan oleh tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Syafii Maarif, dan para pejuang demokrasi dan hak asasi manusia lainnya. Mereka konsisten menjadi pelita penerang hati dan pikiran umat, bukan menjadi kompor dan pembenar tindakan-tindakan tidak terpuji yang dilakukan umat.

Kalau pun MUI ingin lebih memupuk rasa percaya diri umat Islam kebanyakan dalam mengimani keunggulan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup, MUI pun bisa katakan: datangkan seribu Ghulam Ahmad, Nabi Muhammad tak akan pernah berkurang keagungannya! Dia agung dan tidak akan ada yang dapat menyetarai keagungannya. [Novriantoni]


[+/-] Selengkapnya...

Ahmadiyah Tidak Dilarang

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Ahmadiyah Tidak Dilarang
Keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat
Ahmadiyah Tidak Dilarang

Jakarta (ANTARA News) - Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), Selasa, memutuskan tidak melarang aliran Ahmadiyah dan memberi kesempatan jemaat aliran tersebut untuk melakukan perbaikan.


Rapat yang dihadiri seluruh elemen Bakor Pakem, diantaranya Kejaksaan Agung, Polri, dan BIN, tersebut memutuskan tidak melarang Ahmadiyah setelah pimpinan aliran itu mengirimkan penjelasan tertulis.


Penjelasan tertulis yang ditandatangani Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Abdul Basit menegaskan bahwa Ahmadiyah pada dasarnya sama dengan Islam pada umumnya.

Pengikut Ahmadiyah mengucapkan dua kalimat syahadat dan meyakini Muhammad sebagai nabi penutup.

Penjelasan tertulis tersebut juga menyebutkan Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran Islam.

Jemaat Ahmadiyah juga menyatakan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah.

Selain itu, jemaat Ahmadiyah juga berjanji akan meningkatkan silaturahmi dengan umat Islam yang lain.

Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Wisnu Subroto mengatakan, Bakor Pakem bisa memahami penjelasan tertulis Ahmadiyah itu.

Untuk itu, Bakor Pakem memutuskan untuk memberi kesempatan kepada jemaat Ahmadiyah untuk melaksanakan inti dari penjelasan tertulis tersebut.

"Bakor Pakem akan terus memantau dan mengevaluasi," kata Wisnu.

Selain itu, Bakor Pakem juga mengharapkan agar masyarakat bisa memahami itikad baik jemaat Ahmadiyah, dengan tidak melakukan tindakan anarkis. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Fatwa Dan Kekerasan

expr:id='"post-" + data:post.id'>

Benarkah fatwa menjadi pemicu aksi kekerasan atas nama agama?
Fatwa dan Kekerasan

Oleh: Akh. Muzakki*
Benarkah fatwa menjadi pemicu aksi kekerasan atas nama agama? Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai institusi yang kerap mengeluarkan fatwa pasti menolak jika dikatakan fatwanya dianggap seperti itu. Tapi sejumlah kalangan, termasuk beberapa simpul gerakan Islam di Indonesia, justru melihat fatwa MUI menjadi sumber masalah dari sejumlah aksi kekerasan atas nama agama yang belakangan semakin menyeruak ke permukaan.


Termasuk dalam hal ini kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah yang justifikasi legalnya didasarkan atas fatwa sesat MUI. Kasus Kuningan (18 Desember 2007) dan Majalengka (23 Desember 2007) di Jawa Barat menjadi kasus kekerasan termutakhir dari sekian kasus memilukan yang dialami oleh kelompok Ahmadiyah di Indonesia.


Penolakan MUI atas tudingan sebagai pemicu aksi kekerasan di atas didasari argumentasi bahwa mereka tidak menyarankan atau apalagi mendorong masyarakat melakukan kekerasan terhadap kelompok pengikut Ahmadiyah. Intinya, bahwa MUI memfatwa Ahmadiyah sebagai aliran sesat tentu ya. Namun, bahwa kemudian lahir aksi kekerasan atas nama agama terhadap Ahmadiyah, dalam pandangan MUI, sama sekali tidak difatwakan. Karena itu, pengaitan fatwa dengan aksi kekerasan atas nama agama sama sekali ditolak dan tidak diakui keberadaannya oleh MUI.

Memang, kalau dilihat secara harfiah, tidak ada sama sekali satu diktum atau klausul dari fatwa MUI yang menyarankan masyarakat melakukan aksi kekerasan terhadap pihak yang difatwa sesat, seperti Ahmadiyah. Namun, hal itu bukan lalu membebaskan keberadaan fatwa MUI tersebut dari munculnya tindak kekerasan.

Analisis tindak ujar (speech act analysis), seperti dikembangkan Austin (1962), merupakan kerangka teoretis menarik yang bisa digunakan untuk melihat eratnya kaitan antara fatwa sesat MUI dan tindak kekerasan oleh masyarakat. Dalam kerangka teoretis speech act analysis ini, setiap tindak ujar selalu memiliki dan melibatkan dua pihak, yakni penutur sebagai pihak yang mengeluarkan ujaran dan petutur sebagai pihak yang menerima ujaran.

Dalam hubungan antara penutur dan petutur di atas, secara kategoris, terdapat tiga macam tindak. Pertama, tindak lokusi (locutionary act), yang merupakan tindak ujar untuk menyatakan sesuatu. Kedua, tindak ilokusi (illocutionary act), yang merupakan tindak ujar yang dilahirkan dan dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu. Ketiga, tindak perlokusi (perlocutinary act), yang merupakan tindak ujar yang memiliki dampak, daya dorong, serta pengaruh kuat bagi yang menerima atau mendengarnya untuk melakukan sesuatu.

Dalam kasus fatwa sesat Ahmadiyah oleh MUI, penolakan terhadap tudingan bahwa fatwa tersebut menjadi sumber aksi kekerasan bisa saja keluar dari pihak MUI. Tapi fakta bahwa masyarakat mendasarkan aksi kekerasan mereka terhadap pihak Ahmadiyah pada fatwa MUI tidak bisa dimungkiri. Dan kerangka teoretis speech act analysis menjadi alat bantu signifikan yang bisa digunakan untuk "meminta pertanggungjawaban" MUI.

Mengapa pertanggungjawaban tersebut bisa dimintakan kepada MUI? Dua hal yang penting dilihat. Pertama, dari sisi topik dan/atau materi, fatwa sesat oleh MUI tersebut berimplikasi hukum-teologis berupa peniadaan dan pengeluaran keberadaan Ahmadiyah sebagai bagian dari Islam. Kedua, dari sisi relasi antara MUI sebagai pihak pemberi fatwa dan masyarakat sebagai penerima, fatwa sesat MUI mengandung relasi tindak perlokusi, yakni tindak ujar yang memiliki dampak, daya dorong, serta pengaruh kuat bagi yang menerima atau mendengarnya untuk melakukan tindakan atau aksi nyata, sebagaimana dijelaskan di atas.

Pertanyaannya, mengapa fatwa sesat Ahmadiyah oleh MUI memiliki dampak, daya dorong, dan pengaruh yang kuat terhadap lahirnya aksi kekerasan sejumlah kelompok masyarakat? Kerangka teoretis speech act analysis menyarankan bahwa konteks hubungan antara fatwa, pemberi fatwa (MUI), dan penerima (masyarakat) penting dilihat. Posisi dan kapasitas MUI sebagai institusi keagamaan Islam di Indonesia yang menjadi tempat bertemunya sejumlah ulama dari berbagai ormas Islam di Indonesia menjadi pendorong bagi sejumlah kalangan muslim Indonesia untuk melahirkan aksi praktis. Bila tidak dipahami dan disikapi secara bijak, dengan posisi dan kapasitas semacam ini, fatwa MUI yang berorientasi penyesatan bisa mengakibatkan munculnya tindak kekerasan atas nama agama oleh sejumlah kalangan masyarakat.

Pentingnya melihat hubungan antara fatwa, pemberi fatwa (MUI), dan penerima (masyarakat) untuk dilihat semakin besar jika dikaitkan dengan keberadaan konsepsi sesat (dlalal) dalam Islam. Dalam perbendaharaan intelektual dan keagamaan Islam, masih terdapat pemahaman (meskipun juga masih menjadi perdebatan panjang) yang mendorong masyarakat "memerangi" keberadaan pihak yang telah mendapatkan label sesat dan keluar dari Islam sebagaimana melalui fatwa MUI.

MUI tidak sadar bahwa fatwa mereka bisa bergerak menjadi semacam instruksi bagi sejumlah kalangan masyarakat untuk melakukan suatu tindakan konkret terhadap jemaah Ahmadiyah yang difatwa sesat. Sebab, fatwa itu menjadi justifikasi teologis. Dan ironisnya, tindakan konkret tersebut berujung kekerasan.

MUI bisa saja berargumentasi bahwa fatwa sesat yang mereka keluarkan terhadap Ahmadiyah bukanlah satu-satunya. Lebih jauh, MUI bisa pula berargumentasi bahwa mereka hanya mengikuti jejak Rabithah al-`Alam al-Islami yang merekomendasikan bahwa ajaran Ahmadiyah termasuk dalam ajaran sesat dan keluar dari Islam.

Tapi posisi MUI sebagai institusi keagamaan Islam lokal Indonesia dengan kekuatan otoritas yang berorientasi lokal pula telah menjadi pendorong bagi sejumlah kalangan muslim Indonesia untuk melahirkan aksi praktis. Apalagi relasi antara MUI dalam kapasitasnya sebagai pihak penutur dan muslim Indonesia sebagai pihak petutur menyediakan konteks bagi lahirnya tindak perlokusi. Ujung dari jenis tindak perlukosi ini, dan ini ironisnya, adalah aksi kekerasan atas nama agama.

Jangankan opini keagamaan yang dikemas dalam bentuk dan level fatwa, opini yang keluar melalui ceramah keagamaan saja bisa menjadi pemicu lahirnya konflik keagamaan (Muhammad Thohir 2007: 151-168). Lebih-lebih, dari sisi otoritas pemikiran keagamaan, fatwa menempati posisi tertinggi daripada sekadar ceramah keagamaan.

Sungguh ironis memang, dan ini yang harus membuat kita perlu melakukan refleksi diri, mengapa terhadap kasus-kasus yang terkait dengan keberagamaan formal, fatwa MUI lalu dipahami sebagai legitimasi dan energi kuat bagi lahirnya aksi riil di kalangan pengikut agama? Mereka lalu bertindak layaknya eksekutor lapangan. Sementara itu, terhadap kasus-kasus lain yang lebih berdimensi ekonomi politik-cum-pendidikan (seperti kasus fatwa tidak mendidiknya tayangan televisi) umat tidak pernah bereaksi semestinya. Fatwa atas tontonan tidak mendidik di TV dibuat, tapi tontonannya sendiri (seperti infotainment) tetap saja bergerak layaknya ungkapan anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Negara juga harus mengoreksi diri. Negara telah kehilangan kapasitasnya sebagai pelindung kebebasan beragama bagi warganya. Sangat ironis, sikap negara cenderung "membiarkan", atau minimal tidak tegas, terhadap aksi-aksi kekerasan atas nama agama yang terjadi tanpa kontrol dari kekuasaan dan hukum. Akibatnya, tindak kekerasan atas nama agama semakin tumbuh subur.[]

*Penulis adalah Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya, Kandidat Doktor di University of Queensland, Australia

(Koran Tempo, Jum’at, 28 Desember 2007)


[+/-] Selengkapnya...